Benarkah Sebagian Besar UMKM Indonesia Masih Sebagai Perajin
Beberapa waktu yang lalu, saya berkesempatan berkunjung ke beberapa pelaku UMKM, salah satunya adalah di Sentra pembuatan emping Ketela di salah satu kecamatan di kab. Bantul. Sebut saja ibu Dona (bukan nama yang sebenarnya). Ibu Dona ini adalah ketua kelompok dari sentra Pembuatan emping ketela.
Aktifitas sehari-hari ibu Dona tidak lain hanya membuat emping berbahan dasar ketela/singkong. Ibu Dona dibantu oleh sanak keluarganya dari mulai anak-anaknya sampai ke orang tua dari bu dona. Aktifitas usahanya dimulai dari malam ke malam lagi. Malam hari, bu dona dan keluarga bekerja untuk mengupas ketela atau singkong. Pagi harinya, mulai dari selepas shalat subuh bu Dona sudah disibukan guna mengukus singkong-singkong yang telah dikupas malamnya.
Selesai mengukus singkong, bu Dona dan kerabat sudah harus menggiling singkong-singkong kukusan tersebut untuk dibuat adonan. Selepas singkong digiling, hasil gilingan tersebut dibuat adonan tersendiri sesuai dengan rasa dari emping singkong yang hendak dibuat. Tidak selesai saja disitu, selepas adonan jadi, bu Dona dan kerabat masih harus memotong adonan menjadi bagian yang lebih kecil lagi guna memudahkan pengepresan nantinya. Aktifitas seperti ini beliau mulai dari usai Subuh sampai menjelang siang hari sekitar pukul 10.00.
Selepasa jam 10.00, bu Dona sudah disibukan aktifitas nyetak emping singkong tadi. Berhubung semua aktiftas produksi masih di kerjakan secara manual, pengeringan emping juga menggunakan matahari maka bu Dona dan kerabat diharuskan menyelesaikan cetakan emping singkong secepatnya. Atau paling tidak sampai panas matahari sudah berubah menjadi malam. Artinya aktifitas produksi dilakukan sepanjang hari, dari malam sampai malam lagi. Tidak ada jedanya.
Ada salah satu teman yang datang ke bu Dona jauh hari sebelum saya datang ke tempat beliau. Teman bermaksud mendamping usaha bu Dona, berhubung bu Dona belum mempunyai ijin dari dinas kesehatan terhadap makanan yang beliau buat maka si teman bermaksud membantu kepengurusannya. Namun pada saat bu Dona harus dikarantina tiga hari guna pengarahan dari dinas kesehatan mengenai PIRT susahnya bukan main. Kalau mungkin tidak wajib hadir agar memiliki PIRT mungkin bu Dona memilih untuk sibuk di rumah.
Memang, omset harian dari usaha bu Dona dan keluarga seharinya cukup besar. Dalam sehari bu dona mampu memproduksi 150kg singkong, atau kalau diomset uangkan sekitar Rp2.500.000,- cukup besar untuk sekala hom industri. Namun ya itu tadi, semuanya dikerjakan sendiri.
Ketika coba saya tawarkan peluang-peluang yang lain pada beliau semisal kemasannya baiknya dirubah mengingat selama ini beliau hanya menjual emping singkong secara curah saja, agar nilai jual produk semakin baik. Ketika saya coba berdiskusi gimana kalau pasarnya mulai dikembangkan ke pasar moderen, suplay ke supermarket dll. Jawaban beliau cukup enteng saja. "sudah cukup seperti ini saja mas, gini saja produk ibu sudah habis terjual. Nanti kalau harus kesana-kemari usaha ibu keteteran. Cukup begini saja." begitu kata beliau.
Itu hanya cerita dari salah satu pelaku UMKM saja, dan masih banyak lainnya yang pola usahanya hampir sama. Pola usaha yang semua dikerjakan sendiriseperti itu menyebabkan pelaku usaha tidak bisa melihat peluang untuk berkembang. Waktunya habis digunakan untuk proses produksi saja. Jangankan memikirkan pengembangan bisnis, memikirkan urusan-urusan pelengkap usahanya semisa PIRT pun kalau bisa mereka tidak mau. Dan kasus seperti ini terjadi di banyak pelaku UMKM yang sempat saya temui. Mentalitas seperti inilah yang menyebabkan mereka tidak berkembang. Ya seperti ibu Dona tadi, beliau menjalankan usaha dari orang tuanya sejak tahun 1975, dan sampai sekarang beliau yang hanya seperti itu seperti itu saja. Kerja dari malam sampai malam lagi, tidak ada perkembangan yang signifikan.
0 Response to "Benarkah Sebagian Besar UMKM Indonesia Masih Sebagai Perajin"
Post a Comment